7 Langkah Mencegah Korupsi Menurut Syariah Islam

Di antara berbagai macam masalah yang terjadi, khususnya di Indonesia, salah satu yang sudah lama sekali tak kunjung terselesaikan adalah kasus korupsi. Bahkan tidak bisa dibilang adanya penurunan intensitas kasusnya.

Pada Agustus 2016 kemarin, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan sebanyak 361 kepala daerah di Indonesia terlibat kasus korupsi (harianterbit.com). Apalagi sekarang ada kasus soal proyek E-KTP yang menjerat banyak pihak, tentu itu artinya korupsi masih marak bahkan semakin terlestrari.

Tidak lain dan tidak bukan, penyebab maraknya korupsi adalah karena faktor ideologi yang sangat menjunjung kebebasan, sehingga membuat orang sangat mudah untuk melakukan manipulasi. Selain itu; ada juga faktor iman individu yang lemah, budaya lingkungan di masyarakat yang terbiasa, serta memang hukum yang lemah.

Maka, solusinya, adalah kebalikan dari hal-hal tersebut dan beberapa tambahan lainnya. Ada solusi yang bersifat preventif, ada yang bersifat kuratif.

Nah, setidaknya, berikut 7 solusi preventifnya menurut syariat Islam.

1. Rekrutmen SDM aparat negara, wajib berasaskan integritas dan profesionalitas

Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari).

Umar bin Khaththab pernah berkata,“Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”

Dari 2 riwayat tersebut, jelaslah siapa saja yang hendak menjadi aparatur peradilan, maka mereka harus kredibel, terpercaya, andal (mampu), dan memenuhi kapabilitas, serta tentu kepribadiannya harus Islami. Tidak boleh sembarang bisa menjabat hanya karena ada ‘hubungan dekat’ ataupun sogokan uang.

2. Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya

Jelaslah, salah satu hal yang sangat memungkinkan seseorang untuk melakukan tindak korupsi karena imannya yang lemah, bahkan bisa dibilang tidak ada ‘dzikir’ dalam aktivitas rutinnya sebagai pegawai negeri, karena memang pembinaan yang ia dapat adalah sekulerisme.

Maka dari itu, wajiblah seluruh pegawai negeri mendapatkan pembinaan yang tepat.

Amirul Mukminin Umar bin Khaththab senantiasa memberi arahan dan nasehat kepada bawahannya. Misalnya, Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, ”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk….”

3. Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya

Bisa jadi secara umum, ‘penghasilan’ yang sedikit mendorong seseorang untuk melakukan pencurian, korupsi, dan sebagainya; untuk memenuhi keperluan hidupnya. Apalagi kalau justru rugi lantaran biaya kampanye lebih besar daripada gaji bersihnya?

Maka, untuk lebih meminimalisir tindak kriminal tersebut, perlulah adanya upaya untuk mencukupi keperluan-keperluan seseorang. Termasuk, keperluan seorang pegawai negeri.

Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, ”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”

Sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-,”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya Rumah, hendaklah dia mengambil Rumah. Kalau tak punya isteri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).

4. Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara

Hukum syari’at Islam itu jelas sumbernya, jelas pula ‘penggodokannya’, sehingga jelas pula pertanggungjawabanya. Tidak seperti hukum selain Islam sangat rentan dimanipulasi. Misalnya, hukum terkait hadiah. Nah, kalau pada syariat Islam, jelas dirinci hukum-hukum soal hadiah yang boleh dan tidak boleh, termasuk bila untuk seorang pejabat.

Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).

Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad).

Salah satu ‘efek samping’ dari diberlakukannya hal tersebut adalah, orang-orang akan sangat kesulitan untuk melakukan aktivitas ‘suap-menyuap’.

5. Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara

Hal ini pun sudah tentu jelas harus dilakukan.

Amirul Mukminin Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

6. Adakan teladan dari pimpinan

Meski tidak selalu, namun kadang-kadang manusia itu suka mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya.

Maka dari itu, Islam menetapkan bila seseorang memberi teladan yang bagus kepada orang lain, maka seseorang itu juga akan mendapatkan pahala dari orang-orang lain yang meneladani seseorang tersebut.

Sebaliknya kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.

Maka bisa kita lihat terutama pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para Khulafaur Rasyidin -radhiallahu ‘anhum- saat mejadi imam kaum muslimin, betapa sholehnya sehingga membuat sahabat lainnya ikut mencontohnya.

7. Pengawasan oleh negara dan masyarakat

Salah satu yang amat memperbesar peluang penguasa korupsi adalah apabila tipikal rezimnya represif, anti-kritik. Bahkan represifnya dibalut dengan ‘dalil’ (dalih) ayat Al-Qur’an dan hadits. Kalau sudah seperti itu, maka para penguasa bisa sewenang-wenang, termasuk melakukan tindak korupsi.

Terkait hal tersebut, ada baiknya sebagai kepala negara maupun rakyat mengambil pelajaran dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab -radhiallahu ‘anhu- saat awal-awal diangkat menjadi Khalifah. Umar tidak represif, dan rakyatnya pun tidak apatis namun juga tidak ‘menjilat’:

Ketika Umar bin Khaththab –radhiallahu ‘anhum- berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Kemudian seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.”

Di kisah lain, Umar juga pernah langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, hai Umar.”

Nah, begitulah setidaknya 7 langkah preventif Islam mencegah kasus korupsi. Alhamdulillah hal-hal tersebut tentu beserta langkah kuratifnya telah berhasil meminimalisir terjadinya kasus korupsi di Daulah Islam dari zaman Rasul hingga Turki Utsmani dahulu. Dan insyaAllah kelak akan diterapkan lagi sehingga kelak kasus korupsi bisa terminimalisir.

Maka setidaknya peran kita adalah mendakwahkan syariah Islam itu sendiri kepada masyarakat, agar masyarakat memiliki kesadaran bahwa hanya dengan syariah Islam sajalah seluruh problematika kita bisa dicegah maupun diatasi dengan berkah dan insyaAllah efektif.

The post 7 Langkah Mencegah Korupsi Menurut Syariah Islam appeared first on TeknikHidup.com.



from WordPress http://ift.tt/2mwf7k5
via IFTTT




Posting Komentar

0 Komentar