Sejarah Lokalisasi Gang Dolly Terkubur Sampai Di Sini?

Perwakilan ormas Islam Jatim menemui Risma di ruang kerjanya. (Kompas)
Perwakilan ormas Islam Jatim menemui Risma di ruang kerjanya. (Kompas)
Hari ini, Rabu 18 Juni 2014, akan menjadi hari yang bersejarah bagi warga Surabaya dan dunia prostitusi. Sebab, lokalisasi yang konon terbesar di Asia Tenggara, yakni lokalisasi yang terkenal dengan sebutan Gang Dolly, ditutup secara resmi oleh pemerintah Kota Surabaya.
Mulai hari ini, Kota Pahlawan ini ingin mengubah sebutan kota seribu Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan kota budaya. Wali Kota Tri Rismaharini menginginkan, saat orang berbicara soal Surabaya, bukan lokalisasinya yang disebut-sebut, tapi budayanya. Surabaya yang memelihara budaya positif warganya.

Penutupan Dolly, adalah cerita akhir upaya Risma membersihkan Surabaya dari lokalisasi. Sebelumnya, tiga titik lokalisasi sudah ditutup sejak akhir 2013, oleh wali kota yang dijuluki Singa Betina ini, yaitu lokalisasi Dupak Bangunsari, Moroseneng, dan Sememi.

“Penutupan Dolly dan Jarak memang diakhirkan karena karakter masalah sosialnya lebih kompleks dari tiga lokalisasi yang ditutup sebelumnya,” kata Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Supomo, Selasa (18/6/2014) malam seperti dilansir Kompas.

Di Dolly dan Jarak ada puluhan wisma, ratusan mucikari, dan ribuan PSK. Mereka sudah hidup rukun berdampingan dengan warga setempat di lima RW, di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan selama puluhan tahun. Warga setempat pun memperoleh efek ekonomi dari adanya aktivitas prostitusi itu.

Wajar jika kemudian, warga pekerja lokalisasi menolak keras kebijakan penutupan yang berdasarkan Perda No 9 Tahun 1999 tentang larangan penggunaan bangunan untuk kegiatan prostitusi itu. Hampir sebagian besar pekerja Dolly dari pemilik wisma, mucikari, PSK, dan pedagang kecil, menolak keras penutupan. Mereka bahkan bersedia perang dengan pemerintah jika tetap akan ada penutupan.

Pekerja Dolly yang membentuk elemen Fron Pekerja Lokalisasi (FPL) juga menyatakan menolak segala bentuk kompensasi penutupan berupa modal usaha dan pelatihan keterampilan ekonomi yang diberikan pemerintah. Padahal, pemerintah melalui Kemensos sudah menganggarkan Rp 8 miliaran untuk penanganan PSK, Rp 1,5 miliar dari pemprov Jatim untuk mucikari, dan Rp 16 miliar dari Pemkot Surabaya untuk menebus wisma lokalisasi.

Pemkot Surabaya tetap ngotot melakukan penutupan. Masa depan generasi bangsa, adalah alasan yang selalu disebut-sebut walikota perempuan pertama Surabaya itu dalam mengutarakan alasan utama penutupan. Seremoni deklarasi penutupan Dolly sudah disiapkan dengan rapi pada Rabu (18/6/2014) malam, dengan mengundang Menteri Sosial, Salim Segaf Aldjufri sebagai deklarator.

Lokalisasi Dolly berada di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya. Di kiri kanan jalan sepanjang kurang lebih 150 meter dengan lebar sekitar 5 meter ini banyak berdiri wisma-wisma, klub malam dan tempat karaoke.

Wilayah lokalisasi prostitusi yang beraktivitas mulai sekitar tahun 1960-an ini mencakup 5 RW dan berada di kawasan padat penduduk. Sebagian besar penduduk sekitar juga memanfaatkan keberadaan wisma-wisma itu dengan berjualan kopi, rokok ataupun makanan. Ditempat rumah-rumah itulah pada pekerja seks komersial dan juga mucikari tinggal.

Jumlah PSK di kawasan Dolly tidak pasti, kadang naik terkadang juga berkurang. Menurut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, sebagian besar PSK yang ada di kawasan itu bukanlah warga Kota Surabaya. Sejak lama, dia juga telah mewanti-wanti agar jumlah PSK tidak bertambah. Bahkan pihak pemkot maupun pemprov terus berupaya memulangkan para PSK ke daerah asal.

Berdasarkan data Dinas Sosial Kota Surabaya beberapa hari sebelum dilakukan penutupan, jumlah PSK sebanyak 1.449 dengan mucikari sekitar 311 orang. Jumlah ini memang meningkat dari data akhir 2013 yang hanya sebanyak 1.181 orang.

Jumlah inilah yang diusulkan untuk mendapatkan uang saku dari Kementerian Sosial. Hal ini terkait dengan rencana penutupan Dolly pada 18 Juni 2014. Penambahan jumlah PSK ini terlihat setelah dihembuskan rencana penutupan Dolly.

Berdasarkan data, 90 persen PSK berasal dari luar Kota Surabaya bahkan luar Provinsi Jawa Timur. Sedang 10 persennya berasal dari Kota Surabaya. Seperti Kabupaten Kudus, Batang, Ciamis dan Bandung. Sedangkan yang dari Jawa Timur antara lain berasal dari Kabupaten Madiun, Malang, Gresik, Blitar, Mojokerto, Pasuruan, Magetan, Jember, Bojonegoro, Sidoarjo, Nganjuk, Tuban, Trenggalek dan Jombang.

Konon, jumlah PSK di kawasan Dolly sempat mencapai 5.000 orang. Inilah yang menjadikan Dolly sangat terkenal. Bahkan banyak yang mengatakan belum ke Surabaya jika belum ke Dolly.

Selain itu, Dolly biasanya akan mendapatkan PSK-PSK baru setelah usai libur lebaran. Sebab biasanya PSK lama akan membawa orang-orang dari kampungnya untuk ikut bekerja di Dolly.

Hal ini pulalah yang menjadikan alas an penutupan Dolly dilakukan sebelum puasa. Dan adanya penambahan PSK itu juga membuat Pemkot semakin tegas untuk melakukan penutupan, meski penolakan terus saja terjadi.

Sebagian besar PSK dan mucikari Dolly memang mengaku tidak setuju dengan rencana penutupan tersebut. Alasannya yakni karena bisnis esek-esek yang dijalankan sudah terlanjur makmur. Puluhan juta rupiah bisa diperoleh setiap bulannya dari satu wisma.

Setiap PSK bisa mengantongi uang sekitar Rp 13 juta hingga Rp 15 juta per bulan. Sedangkan sang mucikari tentu jauh lebih banyak yakni bisa mencapai Rp 60 juta per bulan. Geliat ekonomi ini bukan hanya dirasakan PSK dan mucikari, namun juga warga sekitar seperti pedagang kaki lima (PKL), pengayuh becak, tukang cuci pakaian PSK, hingga warga sekitar yang bekerja sebagai makelar PSK.

Hal inilah yang menjadi alasan mereka untuk tetap mempertahankan keberadaan Dolly. Pendapatan uang dalam jumlah besar yang bisa diperoleh dengan mudah. Hal ini pulalah yang membuat PSK Dolly selalu bertambah dan hanya sebagian kecil yang mau beralih profesi dan dipulangkan.

Sejarah Lokalisasi Gang Dolly

Sejarah Lokalisasi Gang Dolly
Aksi Demo Penutupan Gang Dolly
Menurut cerita lokalisasi ini didirikan Noni Belanda, Tente Dolly itu bukan yang pertama. Namun lebih terkenal se-antero Asia Tenggara dibanding pendahulunya, yaitu Jarak. “Jarak itu lebih dulu ada dibanding Gang Dolly,” kata Teguh, warga sekitar Gang Dolly seperti dilansir Merdeka.

Jarak sendiri, merupakan limpahan dari lokalisasi yang ada di Jagir, Wonokromo. Lantas siapa Tante Dolly, yang kelak namanya diabadikan sebagai Gang Dolly? 
Mengapa namanya begitu melegenda di jagat prostitusi Tanah Air? Teguh memaparkan, Noni asal Belanda itu adalah mucikari sekaligus pemilik wisma di Cemoro Sewu, yang berada di kawasan Pemakaman Kembang Kuning, Kelurahan Banyu Urip, Kecamatan Sawahan, Surabaya.

“Tante Dolly dan anaknya, itu pernah ngontrak rumah di daerah Ronggo Warsito, Kecamatan Wonokromo. Dan kebetulan yang dikontrak itu rumah ibu saya, yang saat ini usianya sudah 70 tahun lebih,” lanjut dia.

Wisma Tante Dolly di Cemoro Sewu yang dikelolanya sejak zaman kolonial itu, memang cukup tangguh kala itu, meski warga sekitar dan jemaah Masjid Rahmat pernah mengusir Tante Dally.

“Sampai suatu ketika, di wismanya, ada seorang turis India meninggal dan wismanya di-police line. Dengan terpaksa, pemerintahan waktu itu presidennya masih Pak Karno (Soekarno), melokalisir lokalisasi di kawasan Jarak, itu kejadiannya sekitar tahun 60-an (1960),” kata Teguh menceritakan cerita orangtuanya.

Namun, Tante Dolly menolak berkumpul dengan wisma-wisma yang ada di Jarak. Dia justru membuat wisma di tempat terpisah. Dan ternyata, bisnis lendir yang dikelola Tante Dolly ini, terbilang cukup sukses dibanding wisma-wisma yang ada di Jarak.

Maklum, wanita-wanita penghibur yang dimiliki Tante Dolly waktu itu cukup berkelas. Bahkan, paras wajah Tante Dolly mampu menghipnotis para pria hidung belang untuk mencicipi ‘madunya’ surga dunia. Dan karena itulah namanya cukup terkenal waktu itu. Bahkan, hingga saat ini, Tante Dolly menjadi legenda jagat prostitusi di Surabaya.

Sangking suksesnya bisnis Tante Dolly ini, dibuktikan dengan makin menjamurnya wisma di tempatnya itu, hingga akhirnya lokalisasi itu disebut Gang Dolly, yang cukup terkenal se-Asia Tenggara. Nama itu untuk mengenang sang legenda Tante Dolly, setelah kematiannya.

Namun hari ini, kekokohan Gang Dolly akan tinggal sejarah, yang tak akan dilupakan masyarakat Surabaya. Sebab, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, dengan tegas memutuskan untuk menutup Gang Dolly dan Jarak pada 18 Juni 2014 ini. Deklarasi penutupan dilakukan di Gedung Islamic Center Jalan Dukuh Kupang, Surabaya.




Posting Komentar

0 Komentar